Powered By Blogger

Entri Populer

Selasa, 19 April 2011

Mbah Marijan vs Teknologi Vulkanologi


Gunung Merapi sudah mulai kembali mengganas dengan awan panasnya. Keindahan dan kedahsyatan gunung Merapi, selalu tidak terlepas dari kehebatan karismatik mbah Marijan. Di jaman modern ini sebagian masyarakat sudah menggunakan teknologi Vulkanologi tetapi sebagian lain masih mempercayai karismatik alamiah mbah Marijan dalam menentukan kehidupannya menghadapi bencana gunung berapi. Ternyata saat letusan gunung Merapi, mbah Marijan justru mengakhiri hidupnya saat diserang awan panas beserta anggota keluarga, masyarakat dan wartawan yang ikut meliput di rumahnya.
Sebagian besar penduduk patuh terhadap anjuran pemerintah daerah untuk mengungsi. Namun sebagian lainnya masih antara percaya dan tidak percaya atas anjuran mengungsi tersebut. Bahkan sebagian kecil lainnya hidup matinya tergantung sosok mbah Marijan.
Sebagian masyarakat usia lanjut, ibu-ibu dan anak-anak terutama menjadi prioritas sudah mulai diungsikan. Namun keesokan harinya, sebagian pengungsi memutuskan kembali ke gunung untuk beraktivitas seperti biasa. Kembalinya pengungsi ke gunung karena dalam semalam menginap di pengungsian ternyata gunung Merapi belum juga meletus. Sementara, mereka punya pengalaman selama ini dalam menghadapi letusan Merapi. Barangkali, mereka berkeyakinan bahwa letusan gunung Merapi masih lama, karena belum ada tanda alam yang diyakininya.
Setelah gunung Merapi benar-benar meletus dan terjadi hujan debu vulkanik, maka evakuasi di malam hari dilakukan besaran-besaran, terutama di kabupaten Sleman dan Magelang. Posko pengungsian terlihat penuh. Sebagaian warga yang mengungsi malam ini adalah pengungsi yang sehari sebelumnya sudah berada di posko pengungsian. Namun sangat disayangkan saat itu sebagian penduduk lainnya tidak tertolong lagi karena dihantam awan panas Merapi.
Mbah Marijan
Mbah Maridjan yang nama aslinya Mas Penewu Suraksohargo adalah seorang juru kunci Gunung Merapi. Amanah sebagai juru kunci ini diperoleh dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Lelaki berusia 81 tahun ini mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1970. Jabatan sebagai juru kunci lalu ia sandang sejak tahun 1982. Setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu petunjuk beliau untuk mengungsi. Masyarakat di sekitar Gunung Merapi mempercayai mbah Marijan dengan kemampuan “linuwihnya” dapat memahami dan mengetahui perilaku gunung Merapi. Dalam menentukan tingkat bahaya gunung merapi mbah Marijan mungkin saja didasari karena firasat, tanda alam atau petunjuk spiritual yang diyakininya.
Sejak kejadian gunung Merapi mau meletus tahun 2006 lalu, kehebatan nama Mbah Maridjan semakin dikenal melebihi kehebatan cerita gunung Merapi itu sendiri. Saat anjuran dari pemerintah daerah untuk mengungsi karena gunung Merapi akan meletus, mbah Marijan bersikukuh untuk tinggal di rumahnya. Dia menganggap saat itu gunung Merapi hanya sekedar batuk. Ternyata memang benar bahwa saat itu Merapi masih belum menunjukkan keganasannya. Karena faktor keberanian yang luar biasa tersebut sosok mbah Marijan makin dikenal masyarakat luas tersebut. Bahkan mbah Maridjan ditunjuk untuk menjadi ikon salah satu iklan produk minuman energi. Namun ketika saat terakhir ini, kembali peringatan untuk mengungsi diabaikannya. Ternyata gunung Merapi bukan sekedar batuk tetapi awan panasnya mencabut nyawa sang legenda gunung Merapi dan membakar rumah beserta puluhan orang lainnya.
Teknologi Vulkanologi
Teknologi vulkanologi adalah pemantauan secara ilmiah untuk mengenali aktivitas gunung berapi. Teknologi canggih ini digunakan dalam kegiatan mitigasi bencana sebagai bagian dari tahapan dari manajemen bencana meletusnya gunung berapi.  Penetapan gunung Merapi berbahaya atau tidak, saat ini dilakukan berdasarkan data pemantauan yang dilakukan oleh BPPTK (Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian) Jogjakarta.
Penetapan status bahaya gunung didasarkan oleh pendekatan ilmiah yakni ilmu gunung api atau vulcanology. Teknologi vulkanologi dapat dilakukan monitoring dengan sejumlah alat seismograf, monitoring geokimia dan monitoring deformasi EDM (electronic distance Measurement). Seismometer adalah alat atau sensor getaran, yang biasanya dipergunakan untuk mendeteksi gempa bumi atau getaran pada permukaan tanah. Data ini secara ilmiah dapat digunakan sebagai petunjuk aktifitas gunuung berapi. Monitoring geokimia adalah pemantauan ilmiah dengan melakukan sampling gas dan batuan untuk mengetahui kandungan gas atau komposisi kimia batuan. Selain itu dilakukan juga pengamatan visual untuk mengetahui perkembangan pembentukan kubah lava, longsoran, perkembangan solfatar, dan lainnya.
Bagaimana Menyikapinya
Mitigasi bencana gunung berapi tampaknya sudah dilakukan dengan cermat oleh pemerintah daerah. Namun pencanganan “zero to zero” atau bencana tanpa korban nyawa sulit diwujudkan karena berbagai faktor. Hambatan utama adalah faktor kepatuhan masyarakat dalam mengikuti anjuran dan peringatan tanda bahaya yang telah ditetapkan. Hal ini terjadi karena masyarakat sudah merasa akrab dengan alamnya atau mungkin karena mbah Marijan “sang panutan” masih belum juga turun gunung. Masyarakat menganggap mbah Maridjan belum mendapatkan firasat apapun akan meletusnya gunung Merapi.
Memang kesulitan utama terjadi bila teori ilmiah diperdebatkan dengan “ilmu alternatif” mbah Marijan. Teori ilmiah berdasarkan penelitian dan bukti ilmiah sedangkan “ilmu alternatif” tidak berdasarkan ilmiah tetapi sekedar firasat alam dan ilmu spiritual. Kalau masalah ini diperdebatkan pasti tidak akan ada titik temunya, karena dasar pemikiran yang dipakai berbeda. Hal inilah merupakan kendala utama dalam memberikan edukasi kepada masyarakat untuk lebih mempercayai teknologi yang sudah dipertanggungjwabkan secara ilmiah.
Mungkin saja ilmu alternatif tersebut dalam suatu kasus atau saat tertentu menunjukkan kebenarannya. Tetapi secara ilmiah bila dilakukan penelitian seharusnya sama sekali tidak bisa dipercaya. Meski teknologi dan ilmu pengetahuan juga tidak menjamin sepenuhnya kebenarannya tetapi paling tidak seharusnya akurasi masih bisa dipercaya dibandingkan pemikiran non-ilmiah yang belum terbukti.
Fenomena ini juga terjadi dalam kontroversi dalam pengobatan medis dan pengobatan alternatif. Tampaknya memang sulit memberikan edukasi kepada masyarakat untuk merubah perilaku tersebut. Hal itu hampir mirip dengan kesulitan merubah perilaku masyarakat dalam mendapatkan terapi tradisonal alternatif untuk beralih ke terapi medis yang berbasis ilmiah dan teknologi. Kalaupun edukasi sudah dilakukan optimal tapi masih belum menunjukkan hasil maka harus dilakukan upaya terobosan lainnya. Mitigasi bencana alam adalah masalah nyawa manusia maka meski hanya seorang nyawa manusiapun harus jadi pertimabgan utama. Mungkin saja jalan akhir yang bisa ditempuh dalam mitigasi bencana tersebut adalah merubah strategi dalam melakukan evakuasi. Bila sebelumnya strategi evaluasi adalah sekedar anjuran maka seharusnya dirubah menjadi perintah. Jadi bila ada yang membandel dengan keyakinan “non-ilmiahnya” dapat dituntut secara hukum. Karena, begitu satu menolak yang lain juga pasti akan ikut terpengaruh untuk menolak apalagi dia adalah kepala rumah tangga atau bahkan tokoh panutan rakyat. Namun hal yang tidak mudah dilakukan ini perlu payung hukum dalam undang-undang Mitigasi bencana.
Pelajaran berharga dari penduduk masyarakat simeulue Aceh, dapat dijadikan teladan. Banyak nyawa tertolong nyawanya karena mitigasi bencana alam yang baik telah dilakukan untuk menghadapi tsunami yang menghantam mereka. Apapun kesulitan yang dialami manusia dalam menyelamatkan kelangsungan hidupnya, pasti ada jalan keluarnya. Jangan sampai hanya mengabaikan pendapat ilmiah yang sudah terbukti kebenarannya, 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar